Tidak Hanya Dikembangkan, Softskill Juga Perlu Dimanajemen


Refleksi pasca kelas ke-I
Soft Skill



Hari pertama kelas, tentu saja kami saling memperkenalkan diri satu sama lain. Sesi perkenalan yang tidak hanya mengenal nama, dengan proses diskusi yang cukup mendalam kami juga jadi mengerti karakter satu sama lain. Melalui proses berfikir kritis dan diskusi aku merasa lebih mengenal teman-teman. Merasa … wah aku berada di lingkungan dengan orang-orang yang baik dan saling menghargai. I already love them.

            Diskusi pertama sangat ringan, hanya membedakan apa itu softskill dan hardskill. Masing-masing dari kami memberikan contoh. Tidak ada benar dan salah untuk sebuah pendapat. Diskusi yang dilakukan sangat terbuka. Setelah medapatkan beberapa contoh softskill dan hardskill, kami kembali mendiskusikan setiap poin. Apakah ada poin-poin yang harus diganti. Terjadi perdebatan lagi di sini. Mengenai apa sih perbedaan softskill dan hardskill.

https://development-corner.com/


Misalnya yang menjadi salah satu perdebatan adalah memasak. Memasak itu softskill atau hardskill?? Karena memasak membutuhkan kemampuan sensing seperti mencecap makanan agar masakannya enak. Tapi memasak juga ada teorinya dan itu hardskill. Setelah berdiskusi kesimpulannya memasak adalah hardskill karena ada produk yang dihasilkan.

“Softskill prosesnya imersif, berulang kali, terduga dan tida terduga. Bisa karena tidak disengaja,” kata mbak Dewi. Kalau hardskill sekali jadi bisa hilang. Jadi ketika memasak, sekali belajar membuat nasi goreng kamu akan bisa membuat lagi. Tapi kalau lama tidak membuat ya bisa lupa.

Lalu ada diskusi berlanjut dengan apa bedanya softskill dan kepribadian?? Setelah diskusi yang panjang, akhirnya kesimpulan yang  aku tangkap adalah kepribadian belum tentu menjadi softskill ketika tidak diasah. Setelah diasah softskill bisa mempengaruhi kepribadian. Juga ketika softskill yang bukan bawaan lahir, bukan kepribadian awal, jika dilatih ya kemungkinan tetap bisa dikuasai.

Misalkan X adalah orang yang kepribadiannya pemalu dan tidak bisa berkomunikasi dengan baik dihadapan public. Kalau tekun belajar public speaking, ya bisa jadi akhirnya kepribadiannya berubah. Misalkan lagi Y kepribadiannya periang dan cerewet, ketika diasah akan menjadi softskill public speaking yang bagus juga.

Selanjutnya kita diberi sebuah case, apakah barista itu softskill atau hardskill. Sebagian besar memilih hardskill. Kami mengalami diskusi yang terbuka dan asyik dengan masalah ini. Hingga akhirnya, kesimpulannya barista adalah hardskill dan untuk menjadi barista yang baik juga butuh softskill.

Kemampuan yang repetitive, misalnya barista, tukang kebersihan, dan pekerjaan repetitive lainnya bisa digantikan dengan robot di masa depan. Lalu bagaimana nasib manusia. Nah, di sinilah pentingnya softskill. Kemampuan yang membedakan manusia dengan robot. Aku setuju sekali dengan pernyataan ini. Biar bagaimanapun, robot tetaplah tidak bisa mengganti manusia sepenuhnya.

Mbak Dewi mengatakan, ya biarlah jika hardskill dilakukan oleh robot atau diotomatisasi. Manusia mengembangkan softskillnya untuk menjalani kehidupan dan menikmati hidup juga. Membuat sistem yang semakin baik, membuat karya seni dan hal-hal lain yang terlewatkan ketika disibukkan dengan pekerjaan tipe hardskill.

Untuk itu, softskill sangat penting untuk dipelajari dan memang ditekankan untuk dikembangkan di KEN8. Hingga kemudian, dari banyaknya softskill itu bisa dimanajemen sesuai dengan fungsi dan kebutuhan. Manajemen softskill yang dilakukan adalah dengan sistem koperasi. Sebuah sistem yang akan tetap bisa bertahan di era kapitalis dan otomatisasi.

Terakhir, kita diingatkan untuk memiliki empati. Agar tidak kembali terjebak dengan sistem kapitalis dalam menggunakan softskill. Tidak menjadi manipulative dan memanfaatkan manusia lainnya demi kepentingan sendiri. Jadi, mari kita mengasah softskill, memanajemen dengan baik, dan hidup memanusiakan manusia.

No comments:

Post a Comment