Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan

Malam ini sepulang kerja, harusnya aku dan Irul pergi berbelanja ke Mirota. Membeli beberapa sayur, minyak goreng, pasta gigi dan beberapa kebutuhan lain untuk uji coba. Uji coba membuat brownies pakai teflon. Metode yang tampak sederhana ini masuk beranda Instagramku tadi siang. Tapi ternyata takdir berkata lain. Tiba-tiba saja info kelas menulis muncul di beranda Instagram. Tanpa pikir panjang langsung klik dan DM cara pendaftaran. Maka tugas berbelanja kuserahkan pada Irul seorang.


Setelah pekerjaan selesai, aku berbegas meninggalkan kantor. Tentu saja sudah ijin sebelumnya kepada Kepala Divisi. Perjalanan yang cukup panjang, sekitar 40 menit dari Kusumanegara ke Ruang Literasi Jalan Kaliurang. Sedikit basah karena hujan, akhirnya aku sampai di ruang kelas. Mengikuti kelas dengan semangat dan suka cita. “Chia seed letaknya di mana?” tanya Irul melalui pesan Whatsapp. Ah, dia sedang berbelanja. Aku menjawab pertanyaannya sambil mengikuti kelas dengan tenang dan tanpa prasangka.


Usai kelas, aku berpamitan dan berterimakasih dengan Mas Rosyid. Cara mengajarnya sederhana tapi isinya daging semua. Hari sudah malam dan hujan sudah berhenti. Aku pulang dengan suka cita.


Sampai di rumah, langsung melihat hasil belanjaan Irul. Membuka totebag McD yang digunakan sebagai kantong belanja. Syok! Melihat sayur yang dibeli Irul. “Apa ini?” kataku setengah menjerit lalu tertawa. Bisa-bisanya manusia itu membeli kemangi, selada dan kale. Bahan-bahan yang tidak biasa tersaji sebagai menu masakan di rumah!


“Gimana? Oke kan?” tanya Irul dengan bangga. Ah! Ternyata aku salah sangka! Kupikir pengetahuan jenis-jenis sayur itu commone sense. Aku kira setelah tiga tahun menikah dia tahu apa yang dimakan sehari-hari! Ternyata tidak.


“Kenapa tidak beli bayam, kangkung, ini kemangi dan selada buat apa?” tanyaku heran. “Ijo semua aku gak tahu,” jawabnya.


Memang ini adalah kesalahanku yang terlalu percaya. Kami tidak suka kemangi, aku tidak suka selada, dan dia tidak suka kale!


Begitulah, sayur itu kemudian tersimpan di kulkas. Lain kali kalau ke Mirota lagi, akan aku ajari dia jenis-jenis sayuran.


Kemangi dan Selada


Perjalanan gemilang Gabriella Shaenette Sounders, atau yang akrab disapa Gaby, bermula dari partisipasinya di ajang fashion show Pesona Batik Nusantara yang diselenggarakan Plor Management pada pertengahan 2024. Dalam kompetisi tersebut, Gaby berhasil meraih gelar The Winner, membuka jalan baginya untuk melangkah ke kancah yang lebih bergengsi, yakni Asianista International 2025 di Singapura pada 20 April 2025.

Event Asianista International 2025 sendiri merupakan ajang tahunan yang diprakarsai oleh ReDiva La Femme, menghadirkan peserta dari berbagai kategori usia: anak-anak 5-10 tahun, remaja 11-16 tahun dan 17-20 tahun, serta dewasa 21 tahun ke atas. Acara ini mempertemukan talenta-talenta muda dari berbagai negara Asia seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Indonesia, hingga India. Pada tahun ini, tema glamor Black and Gold Evening Gown menjadi sorotan, dengan 50 peserta tampil memukau di atas runway.

Tampil memesona dalam balutan tema glamor, Gaby berhasil menarik perhatian para juri dan tamu undangan, hingga akhirnya dinobatkan sebagai Miss Young Asianista 2025 untuk kategori anak usia 5-10 tahun. Selain itu, ia juga menerima penghargaan prestisius sebagai The Icon dalam event tersebut.

Dunia modelling sudah akrab dengan Gaby sejak usia 5 tahun. Sejak itu, ia konsisten mengembangkan bakatnya di dunia fashion show. Deretan prestasi telah ditorehkannya, antara lain sebagai runner-up 4 di ajang Mini Miss Grand Model Indonesia 2023, Juara I Pesona Batik Nusantara 2024, hingga yang terbaru meraih gelar The Icon di Asianista International 2025.

Saat ini, Gaby berusia 9 tahun dan menempuh pendidikan di SDK Sang Timur Yogyakarta, duduk di bangku kelas 3. Anak bungsu dari pasangan Alexander Irwan Tanil dan Fransisca Widiasari ini terus menunjukkan dedikasinya di dunia modelling, seiring dengan komitmen menjaga prestasi akademiknya.

Kesuksesan Gaby tentu tidak lepas dari dukungan penuh orang tuanya, yang juga dikenal sebagai founder Sounders Group. Mereka aktif memberikan motivasi dan support untuk menjaga keseimbangan antara pendidikan dan pengembangan bakat di luar sekolah.

Gaby sendiri berharap bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak Indonesia lainnya untuk terus berprestasi. “Aku senang bisa membawa nama Indonesia. Semoga ke depannya aku bisa ikut lebih banyak event dan terus berkarya,” ungkap Gaby penuh semangat.

By Kazebara Posted 5 February 2019 di genpijogja.com

 

Hari ini matahari bersinar cerah, kami satu rombongan Tim Web GenPi Jogja berkunjung ke desa Klipoh. Klipoh merupakan nama desa yang terletak di Karanganyar, kecamatan Borobudur, Magelang. Kalau kamu naik bus dari terminal Giwangan Jogja, turun saja di pintu masuk Candi Borobudur lalu mencari ojek motor.

Klipoh dipercaya telah memulai geliat aktivitas pembuatan gerabah sejak abad ke 9, satu era dengan Candi Borobudur. Konon ceritanya, Klipoh dahulu kala dibangun oleh Nyai Kalipah. Wanita tersebut menikah dan memiliki keluarga, hingga akhirnya membentuk desa yang disebut dengan Klipoh atau Nglipoh. Kebiasaan Nyai Kalipah adalah membuat gerabah, yang kemudian menjadi kemampuan turun temurun pada generasi selanjutnya. Sayang sekali, masa sekarang regenerasi sepertinya tidak sesukses kala itu.



pengrajin gerabah klipoh


Setelah menyantap sarapan berupa nasi hangat lauk sayur lodeh, ikan asin, tahu goreng dan sambal, kami memulai petualangan di desa Klipoh. Perajin pertama yang kami temui adalah Mbah Kaminah.

Beliau memakai celana pendek dan baju berwarna putih. Tidak hanya baju, rambut potongan cepat beliau juga didominasi dengan warna putih. Tapi tangan Mbah Kaminah sepertinya masih cekatan dan hapal betul bagaimana membuat souvenir dari tanah liat. Satu souvenir berbentuk wadah lilin sempurna dibuat dari tanah liat yang berbentuk bulat, dalam tempo kurang dari dua menit.

Sebelum dibentuk tanah liat dikepal-kepal menggunakan kedua tangan untuk melepaskan udara yang terperangkap di dalam adonan. Adonan tanah yang digunakan sebelumnya juga digiling terlebih dahulu. Tangan kanan mbah Kaminah dengan cekatan membentuk tanah liat dan tangan kirinya memutar meja kecil berbentuk lingkaran.

Setelah mengamati proses yang tampaknya mudah itu, kami satu per satu mencoba membuat sebuah souvenir. Hasilnya tidak ada yang jadi seperti contoh. Realitanya semua itu membutuhkan skill khusus.

Mbah Kaminah sendiri sudah belajar membuat gerabah sejak kecil. Beliau mulai terjun menjadi perajin sejak tahun 2000 silam. Di rumah sederhana berbahan kayu dengan teras terisi rak penuh dengan gerabah, Mbah Kaminah bekerja setiap hari. Beliau mengatakan bahwa tidak ada anak cucunya yang membuat gerabah.

pengrajin gerabah klipoh

Sejak tahun 2000 Dusun Klipoh mulai dikunjungi wisatawan, salah satu fasilitas penunjang berupa galeri komunitas yang diresmikan pada bulan Mei 2014. Dibangun atas kerjasama United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan pemerintah Australia bersama desa Karanganyar.

Wisatawan dapat melihat proses pembuatan dan mencoba membuat gerabah. Beberapa hotel disekitar kawasan Candi Borobudur memiliki paket kunjungan ke desa Klipoh. Semenjak menjadi desa wisata kehidupan perajin gerabah menjadi lebih baik.

Sebelumnya hasil kerja keras mereka dengan proses yang panjang dihargai sangat murah oleh tengkulak. Hasil yang tidak seberapa membuat tingkat perekonomian perajin diambang batas kemiskinan.

Proses pembuatan gerabah membutuhkan waktu yang tidak singkat. Dimulai dengan pemilihan bahan tanah liat, pembentukan, pengeringan, pembakaran, pewarnaan dan finishing. Beragam jenis gerabah dihasilkan, mulai dari asbak, tempat lilin, kendi, mangkok, cangkir, pot bunga sampai miniatur patung Buddha dan stupa.

Produk unggulan yang sebenarnya dari desa ini adalah alat memasak. Hanya karena jumlah perajin semakin sedikit dan kebanyakan pesanan adalah souvenir, mereka membuat peralatan memasak ketika ada pesanan saja.

Setelah berkeliling mengamati keseluruhan proses, ternyata memang yang kami temui adalah perajin perempuan yang sudah tua. Beberapa mengatakan bahwa mereka tidak memiliki penerus. Padahal potensi wisata di desa Klipoh ini sangat besar untuk dikembangkan.

Tugas generasi muda untuk membuat desa Klipoh dan gerabahnya menjadi semakin terkenal dan banyak dikunjungi wisatawan. Karena generasi muda lebih maju, lebih berpengatahuan dan memiliki kemampuan mengikuti perkembangan jaman.

Jika dikemudian hari para pejuang perempuan ini tidak ada lagi tanpa generasi penerus yang memadai, tentu saja bisa menjadi kendala yang serius untuk tetap bisa mempertahankan gelar desa wisata gerabah Klipoh. Hal itu juga mengancam eksistensi sejarah dan budaya setempat.

Untuk itu perlu adanya upaya melalui pendidikan atau pendampingan agar generasi muda terpacu semangatnya untuk menjadi pembuat gerabah. Menjadi bagian dari penjaga budaya.

 By Kazebara Posted 24 December 2018 di genpijogja.om

Pohon-pohon pinus layaknya tiang-tiang yang kokoh. Melambai perlahan, daun-daunnya tertiup angin. Aroma pinus menguar bercampur segar udara pagi. Sinar matahari menelusup celah pepohonan. Udara semakin hangat. Tenang dan nyaman… Hutan Pinus Mangunan.

Pukul 06.00 pagi, pertama kali menjejakkan kaki di Hutan Pinus Mangunan. Udara terasa segar tidak terlalu dingin. Sayang sekali, meski sudah berkunjung di pagi hari tidak sempat melihat kabut. Hanya tanah basah sisa gerimis yang sejenak datang di awal musim penghujan. Kalau beruntung kamu bisa mendapatkan pemandangan kabut putih menyelimuti kawasan hutan. Sangat instagramable kalau kata anak-anak milenial pemburu foto apik untuk akun sosmednya. Selain kabut, lembut matahari terbit juga menjadi icon yang popular untuk sekadar dinikmati atau diabadikan di pagi hari hingga menjelang sunset di sore hari. Proses muncul dan menghilangnya matahari memang menjadi saat-saat kritis yang diburu, apalagi kalau sedang cantik-cantiknya dan tidak malu-malu dibalik awan.

Hutan Pinus Mangunan kadang disalah artikan dengan sebutan hutan pinus Imogiri karena lokasinya yang searah dengan situs makam Raja-Raja Imogiri, terutama wisatawan yang berasal dari luar Jogja. Padahal secara administratif hutan pinus ini tidak termasuk kawasan Imogiri. Kawasan ini merupakan hasil reboisasi, jadi tidak muncul begitu saja secara alami. Perlu banyak tenaga dan upaya untuk menjadikan kawasan ini menjadi tempat wisata yang menarik. Berbagai fasilitas wisata seperti gardu pandang, panggung pertunjukan yang menyatu dengan alam, kamar mandi umum, mushola dan warung-warung sederhana pun telah di bangun di kawasan wisata ini. Tidak ketinggalan beberapa spot foto disediakan untuk para millenial yang datang dengan niat menambah koleksi foto di galeri media sosialnya.

hutan pinus mangunan

Beberapa tempat favorit untuk mengambil gambar diantaranya adalah area bangku kayu, hammock yan dipasang di pohon pinus, rumah pohon, dan taman bunga. Selain spot yang memang sudah disediakan kamu juga bisa mengasah kreatifitas untuk mengambil foto di area hutan dengan memanfaatkan pemandangan jejeran pinus atau daun-daun kering yang menutup lantai hutan. “Hutan pinus ini tempatnya asri, tenang, teduh, bagus buat hunting foto, masyarakatnya ramah, namun sayang masih ada sampah yang dibuang sembarangan.” tutur Ryan mahasaiswa Batan yang berasal dari Medan. Dia dan teman-teman modelnya sedang melakukan photoshoot dipagi hari. Hutan pinus mangunan memang menjadi tempat favorit dan hits untuk hunting foto dan prewedding.

Tidak sulit menjelajahi hutan pinus mangunan, karena tersedia banyak jalan setapak yang nyaman untuk dilalui. Untuk kamu yang menyukai petualangan bisa mencoba trekking ke dalam hutan  Jauh di dalam Hutan Pinus Mangunan terdapat sumber mata air Bengkuang. Konon dulunya tempat ini merupakan lokasi pertapaan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Untuk mencapai mata air yang pernah direnovasi oleh pemerintah Belanda ini kamu bisa menyusuri jalur outbond  Watu Abang menembus hutan yang rapat. Rasakan sensasi petualangan yang menyenangkan. Untuk masuk ke Hutan Pinus Mangunan kamu cukup membayar Rp. 2500 saja, untuk biaya parkir motor Rp. 3000 dan Rp.10.000 untuk parkir mobil. Untuk bus dikenakan biaya Rp. 20.000 dan untuk foto prewedding Rp. 50.000. Wisata Hutan Pinus Mangunan buka dari jam 06.00 hingga petang.

Lokasi Hutan Pinus Mangunan Yogyakarta terletak di Desa Mangunan, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul. Berhubung tidak ada angkutan umum yang melayani trayek hingga ke tempat ini maka lebih baik kamu membawa kendaraan pribadi. Dari Terminal Giwangan, kamu bisa menyusuri Jalan Imogiri Timur, langsung lurus saja mengikuti petunjuk jalan. Jika berangkat dari kota Jogja perjalanan sejauh 24 Km bisa ditempuh selama satu jam. Perjalanan dimulai dari ring road selatan menuju jalan Parangtritis, lurus saja mengikuti petunjuk arah ke wisata kebun buah Mangunan, lurus saja menelusuri jalan yang semakin menanjak. Memasuki kawasan Mangunan kamu sudah bisa menikmati pemandangan indah di sisi jalan yang dilewati. Jka datang ketika musim kemarau, pohon-pohon kering yang menggugurkan daunnya bak musim gugur di negara empat musim. Ketika musim hujan, deretan pepohonan hijau menyegarkan mata.


 By Kazebara Posted 15 August 2018 di genpijogja.com

 

Es dawet yang rasanya gurih dengan manis yang pas, segarnya menjadi berlipat ganda di tengah cuaca panas. Apalagi kalau dicampur dengan tape ketan, bukan hanya pelepas dahaga tapi bisa jadi penunda lapar saat perjalanan.

Es dawet ini tergolong ke dalam minuman tradisional yang sehat tanpa pewarna dan pengawet tambahan. Disajikan dengan mangkuk kecil yang pas dalam genggaman, menjadi teman untuk melepas penat ketika kamu sedang melakukan perjalanan dari luar kota.

Letak para pedagang dawet ini berada di Jalan Solo-Jogjakarta KM 10-11 Kalasan. Dari arah timur setelah Candi Prambanan gunakan jalur lambat. Deretan penjual dawet dengan berada di sisi kiri jalan dengan fasilitas parkir untuk mobil dan sepeda motor. Jika kamu datang dari kota Jogja berarti harus putar balik setelah melewati lampu merah daerah Bogem. Lebih baik datang ke area ini menggunakan kendaraan pribadi karena jauh dari halte bus Transjogja.



Dawet Ireng


Lapak-lapak sederhana dengan meja dan kursi kayu berjajar di sepanjang jalan. Sepeda motor dan mobil terlihat silih berganti parkir di depan lapak penjual dawet. Setiap lapak memiliki jadwal buka yang berbeda. Namun, secara umum para penjual dawet di sini siap melayani pelanggan dari pukul 09.00-15.00 WIB.

Pembuatan dawet ireng dan putih di sini masih menggunakan cara tradisional. Cendol dawet dibuat dari bahan tepung sagu atau campuran tepung sagu dan tepung beras. Proses pembuatannya masih manual tanpa menggunakan mesin.

Warna dawet ireng berasal dari jerami padi atau merang yang dibakar kemudian dicampur dengan air. Air berwarna hitam inilah yang dijadikan sebagai bahan pewarna hingga warna dawet ireng menjadi hitam ke abu-abuan. Santan yang digunakan berasal dari parutan kelapa asli. Ditambah dengan gula aren atau gula jawa sebagai pemanis, membuat rasa dawet menjadi gurih dengan manis yang pas.

Ada pula yang menambahkan potongan kecil buah nangka pada sajian dawetnya, aroma manis khas buah nangka sangat terasa meskipun hanya beberapa potong saja. Rasanya juga menjadi sangat berbeda.

Dawet Ireng Prambanan

Dawet ireng dan dawet putih ini bisa juga ditambah dengan tape ketan putih atau berwarna hijau dengan campuran pandan. Rasa ketan yang gurih dan asam membuat es dawet semakin segar. Apalagi di minum ketika siang hari saat kamu melakukan perjalanan jauh dari luar kota, dijamin segarnya akan berlipat ganda. Dengan harga yang murah mulai dari 3000 rupah siapapun bisa membeli dawet ini.

Beberapa penjual juga menyediakan gorengan, roti dan tape untuk menemani kamu minum dawet. Sehabis perjalanan dari Ngawi atau Solo, aku sering mampir minum dawet di daerah ini. Setiap pedagang memiliki ciri khas tersendiri. Ada yang tidak menggunakan nangka atau bisa tanpa tape. Semuanya murah dan enak.

Salah satu lapak yang aku kunjungi adalah kedai AA dengan penjual yang ramah, dari abang penjual inilah pertama aku tahu asal muasal warna hitam dawet ireng. Sembari menyendok dawet yang disajikan dengan mangkuk putih, menu favorit sebagai pelengkap adalah tahu goreng yang renyah.

Rasanya sungguh nikmat makan tahu goreng berteman dengan dawet ireng ditambah tape di siang hari yang panas. Lelah perjalanan seketika hilang. Kalau memang cuaca sedang mendung boleh juga pesan dawet tanpa es. Kalau ingin menikmati dawet ireng pastikan kamu mampir di kedai yang bertuliskan dawet ireng, karena ada juga penjual dawet putih.

Dawet ireng sendiri sebenarnya adalah minuman yang berasal dari daerah Butuh Purworejo sejak tahun 1950. Semakin lama dikenal masyarakat luas hingga Jawa Barat dan Jawa Tengah. Meskipun dijajakan di luar daerah asal, ciri khas dawet akan tetap sama di manapun berada. Kebanyakan penjual dawet di jalan Solo-Jogja ini berasal dari Bayat Klaten, selebihnya adalah penduduk setempat.

Secara umum penjual dawet menggunakan pikulan yang berisi dua buah genthong kecil dari tanah liat sebagai wadah. Meskipun cara penjualannya menetap tetap saja menggunakan pikulan. Dawet menjadi minuman yang tetap lestari hingga kini. Bukan hanya karena harga yang sangat bersahabat, rasa dan kualitas yang terus dipertahankan menjadi daya pikat yang tidak lekang oleh waktu.

Dawet mengajarkan kesederhanaan dan kearifan. Dalam hidup ini tidak perlu macam-macam, bermewah-mewah untuk bisa bahagia dan menghadirkan kebahagiaan kepada sesama. Sederhana saja, menjadi asli, menjadi diri sendiri dan selalu menjadi pribadi yang berkualitas baik.