Pada hari Selasa Wage, 7 Maret 1989 atau 29 Rajab 1921, KGPH Mangkubumi dinobatkan sebagai Raja ke-10 Keraton Kasultanan
Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X. Selanjutnya, tanggal 7
Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Penobatan Sri Sultan
Hamengku Buwono X atau Tingalan Jumenengan Dalem.
Tingalan Jumenengan Dalem 2020 ini adalah ulang tahun yang ke-32
dalam hitungan Tahun Jawa dan 31 tahun dalam hitungan Masehi. Jadi ada
perbedaan dalam hal penanggalan.
Peringatan Tingalan Jumenengan Dalem tahun ini masuk dalam kategori Tumbuk
Ageng. Sejak tahun lalu ada dua agenda besar yang diselenggarakan Kerato
Yogyakarta.
Workshop Puthutan |
Selain
kegiatan Hajad Dalem mulai
tahun 2019, Keraton Yogyakarta juga menggelar kegiatan Simposium Internasional
dan Pameran Budaya Jawa dalam rangka Mangayubagya Tingalan Jumenengan Dalem
Sri Sultan Hamengku Buwono X. Beruntung,
saya bisa menghadiri salah satu worshop yang diadakan Keraton.
Sabtu,
14 Maret 2020 Keraton Yogakarta mengadakan workshop Pututhan. Peserta workshop
adalah masyarakat umum yang datang dari berbagai latar belakang. Acara ini
dilaksanakan di Balebang yang masih ada di dalam kompleks Bangsal Pagelaran.
Masuk ke dalam agenda Pameran Budaya yang diselenggarakan di tempat yang sama.
Pututhan
adalah busana adat yang digunakan ketika acara sunatan. Baik oleh Putra Raja,
keluarga Keraton maupun masyarakat umum yang ingin memakainya. Kain dan
aksesoris tertentu hanya boleh dikenakan oleh Putra Sultan. Melalui worksop ini
peserta tidak hanya mengulik bagaimana busana ketika acara khitan, tapi juga
apa perbedaannya dengan yang boleh dikenakan masyarakat umum. Ada bedanya,
tentu saja.
Busana
adat pututhan atau khitan yang dipraktekkan langsung saat workshop adalah
busana untuk Putra Raja. Tata cara memakai busana tersebut dan makna-maknanya
dijelaskan oleh Nyai Raras dan Nyai Ndari. Pada awalnya busana pututhan ini
dikenakan oleh putro dan wayah ndalem yang akan melangsungkan acara sunatan.
Biasanya usianya 7-8 tahun. Tapi dalam perkembangan selanjutnya juga dikenakan
oleh kerabat Sultan.
Ada
beberapa rangkaian acara yang harus dilakukan ketika pututhan. Mulai dari
siraman, sungkeman, gres, dan resepsi. Meskipun terkesan ribet di jaman
sekarang dan banyak atribut yang harus dilaksanakan, melestarikan budaya adalah
kewajiban.
“Tradisi
bukan sebuah pemaksaan, tapi kewajiban sosial,” ungkap Nyai Ndari.
Setelah
menjelaskan prosesi pututhan, selanjutnya dijelaskan apa saja busana dan
aksesoris yang harus dikenakan. Juga bagaimana urutan pemakaiannya. Sembari
dijelaskan, Nyai Ndari dan Nyai Raras mempraktekkan langsung tata caranya.
Beliau juga menjelaskan kadang dalam upacara adat aka nada perbedaan corak
batik dan warna kain. Hal ini tergantung pada keinginan Raja atau putra-putri
raja yang sedang hajatan.
Perlengkapan busana yang harus ada adalah putut (topi), rompi, nyamping praos atau prada untuk Putra
Raja dan nyamping biasa untuk umum, lonthong, boro, kamus dan timang, kalung
sungsun 3, gelang binggel, rante dan karset (khusus untuk Putra Raja) dan bros.
Jadi ada dua pembeda piranti busana khusus Putra Raja adalah kain nyamping dan
rante karset.
Untuk
kain nyamping anak Raja menggunakan kain praos atau prada. Yaitu kain batik
yang dihias dengan benang perak atau emas. Jadi mirip batik songket yang ada
kemilaunya begitu. Untuk motif batik, bagi masyarakat umum juga tidak boleh
menggunakan motif batik larangan, misalnya Parang. Rante dan karset juga hanya
boleh digunakan oleh Putra Raja. Dikenakan pada bagian depan pakaian.
Pututhan
sendiri diambil dari nama topi yang digunakan. Topi yang bernama puthut itu
ternyata memiliki makna filosofis yang dalam. Putut dalam dunia pewayangan
digunakan oleh cantrik dan pertapa. Maknanya adalah pendekatan kepada Tuhan.
Bisa juga diartikan sebagai pengembangan dari surban.
Puthutan Anak Raja |
Acara
puthutan bukan hanya sekadanr gerbang menuju kedewasaan bagi anak-anak. Tapi
juga secara filosofis selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk
model puthut dan rompi, juga warnanya bisa berbeda pada setiap generasi Raja.
Hal ini tergantung pada kebijakan model busana oleh Raja yang Jumeneng. Makna
lain adalah untuk berdoa bersama. Doa dari banyak orang diharapkan akan lebih
kuat daripada hanya satu atau dua orang.
“Upacara tradisi adalah cara untuk menghimpun
doa. Semua yang datang akan turut mendoakan. Itulah salah satu maknanya,”
ungkap Nyai raras.
Jadi
dalam tradisi, ternyata menyimpan beragam kebijaksanaan dan kebaikan. Bukan
hanya sekadar melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya.
Meskipun adat puthutan lengkap sudah jarang digunakan oleh masyarakat bahkan di
dalam lingkungan Keraton, kita memang sebaiknya tahu. Agar bisa meneruskan
tradisi.
Masyarakat
boleh mengadopsi busana Puthutan ini. Tidak masalah jika memang belum bisa
lengkap. Tapi paling penting adalah tidak menggunakan pakaian dan aksesoris
yang hanya boleh digunakan oleh anak Raja. Memang tidak ada hukuman jika ada
yang melakukan. Tapi lebih kepada sanksi sosial.
Workshop Busana Puthutan untuk Putra Raja Serta Rangkaian Acara yang Mengiringinya
by
kazebara
on
Maret 17, 2020
Pada hari Selasa Wage, 7 Maret 1989 atau 29 Rajab 1921 , KGPH Mangkubumi dinobatkan sebagai Raja ke-10 Keraton Kasultanan Yogyakarta deng...