Nalar Hidup Petani, Pengetahuan yang Terpinggirkan dan Hilang


 Catatan Kelas Ke-4 PIM Nalar Hidup Petani 


            Bagi saya ini adalah sesi paling emosional dari tiga sesi sebelumnya. Karena banyak kasus yang meresahkan berkaitan dengan rantai pengetahuan bangsa ini yang terputus. Karena banyak sebab. Perbedaan bahasa masa klasik dan modern, masuknya kebudayaan baru dari negara lain, dan beragam peristiwa sejarah yang menimpa bangsa ini. Naskah-naskah kuno yang kurang diminati, budaya yang dianggap tida lagi relevan, hingga hilangnya catatan baik mu adan sejarah. 


Petani Kopi (Foto Fajar Sumatera)


           Membuat kita semakin mudah terjebak euforia dengan modernitas dan kebaikan-kebaikan metode dari luar. Padahal bangsa ini telah menjadi bangsa yang besar sejak masa lampau. Di bidang pertanian masyarakat klasik punya kearifan dan pengetahuan sendiri. Itulah yang seharusnya dikembangkan agar lebih sesuai dengan jaman.

Pertama kita membahas mengenai teori diskursus dari Michel Foucault, seorang filsuf Prancis. Ada dua titik yang akan terus berhubungan, antara titik Ginealogi dan Arkeologi. Saya sendiri belum begitu memahami teori ini. Jadi masih perlu belajar lagi. Teori Foucault ini membahas mengenai pengetahuan dan bahwa pengetahuan bisa menjadi kekuasaan.

Selanjutnya, kami mencoba menganalisis neraca perdagangan. Jika ditelisik surplusnya hanya bidang perkebunan. Sedangkan di Indonesia perkebunan identik dengan sawit dan bahan ekspor. Justru produk pangan malah defisit. Padahal masalah pangan sangat penting karena menyangkut perut. Orang tidak bisa produktif, berfikir dan memiliki waktu untuk menikmati hidup jika setiap hari perutnya kosong. Maksudnya, jika masalah pangan saja belum selesai, bgaimana negara ini bisa maju?

            Dari neraca perdagangan bidang pertanian itu juga ada peternakan. Mendiskusikan bentuk perusahaan plasma dan inti plasma. Perusahaan yang tampaknya baik memberikan edukasi keada peternak atau petani. Tapi nyatanya semua ada pada kendali perusahaan tersebut. Petani dan peternak itu tidak tahu nilai produknya, padahal di bahasan kelas ke 3 Knowledge Manajemen, disebutkan bahwa itu sangat penting. 

          Model kerjasama PT seperti ini, selain susu ada ayam dan tanaman export lainnya. Bagi saya seperti sistem tanam paksa yang sangat halus. Petani tidak merasa dipaksa memang karena mereka mendapatkan keuntungan. Tapi bayangkan, produknya ditentukan, kualitasnya ditentukan, harganya ditentukan. Harga beli juga termasuk rendah jika dibandingkan dengan keuntungan PT. Nah, kan mirip tanam paksa tapi sudah modern. Tidak ada yang merasa dipaksa, dirugikan dan dikendalikan.

            Selanjutnya kami membahas mengenai penggunaan kalender, Pranoto Mongso kalau untuk pertanian. Sejalan dengan paragraf pertama tulisan ini. Kita kehilangan banyak ilmu pengetahuan. Kehilangan banyak wisdom yang telah ditemukan leluhur. Bagaimana bisa menjadi bangsa yang maju dan luhur kalau pengetahuan leluhurnya dilupakan? Bisa jadi malah jad bangsa yang modern kelihatannya tapi kehilangan jatidiri Ya itu, mudah terkena euphoria budaya negara lain yang dipuja.

            Secara pribadi saya sangat berterimakasih kepada ahli filologi yang peduli pada pengetahuan masa lampau dan menerjemahkan untuk masyarakat modern. Di Jogjakarta sendiri, Keraton telah bekerjasama dengan universitas untuk mempelajari naskah kuno yang tersisa. Berusaha meminta kembali naskah yang dibawa ke Inggris karena Geger Sepehi dan mempelajarinya. Kalau ada yang bilang back to nature, bagiku ya bukan hanya kembali ke lam.

           Orang jaman dahulu sudah hidup dekat dengan alam. Petani jaman dulu mengahargai alam. Ya, kembali mempelajari pengetahuan lampau yang terpinggirkan dan hilang. Lalu mengembangkannya agar selalu sesuai dengan perkembangan jaman.
           
           

No comments:

Post a Comment